Menteri Baru Kurikulum Baru

Wacana “Full Day School” saat ini menjadi fenomena paling diperbincangkan oleh masyarakat setempat, khususnya warga Indonesia yang saat ini diwacanakan akan memberlakukan full day school yang berarti sekolah seharian penuh. Biasanya, anak- anak bersekolah dimulai sejak pukul 07.00 pagi hingga pukul 13.00 siang untuk kelas regular atau selambat- lambatnya pulang hingga pukul 15.00. Namun, saat ini sedang beredar luas tentang wacana menteri pendidikan dan kebudayaan yang akan mewajibkan sekolah- sekolah untuk menerapkan sistem full day school. Munculnya wacana ini menimbulkan banyak pro dan kontar di mata masyarakat, baik dari orang tua, murid, hingga petugas sekolah yang bertanggung jawab atas program yang mungkin nantinya akan diterapkan di sekolah.

Keberadaan full day school bisa memicu belajar siswa untuk mendapatkan kualitas yang lebih baik dari sebelunya. Pengadaan sekolah seharian penuh ini bukan semata- mata siswa hanya belajar di kelas, duduk mendengarkan guru bercerita, melihat papan tulis dan mencatat. Namun, kegiatan pengembangan ekstrakulikuler pun ditingkatkan untuk mengasah pola pikir anak di bidang lain selain pembelajaran di dalam ruangan. Hal ini diharapkan agar siswa- siswi juga bisa mengenali minat dan bakat mereka sejak dini karena sudah diterapkan di sekolah masing- masing, sehingga soft skill anak akan juga terasah. Pengadaan sekolah seharian ini juga bertujuan untuk mencegah anak- anak yang banyak bermain untuk bisa tetap belajar dengan pengawasan guru di sekolah, sehingga anak- anak tak lagi hanya bermain saja. Maka, pencapaian yang maksimal akan didapatkan sesuai dengan apa yang ditargetkan untuk menciptakan generasi penerus bangsa yang kompeten baik dari soft skill maupun hard skill.

Dibalik pernyataan tersebut, banyak juga masyarakat yang menolak wacana sekolah seharian penuh tersebut, menyatakan tidak setuju.

“Sekolah sampai berapa jam lamanya pun tak ada jaminan anak tersebut akan menjadi lebih sukses dari sebelumnya tanpa adanya peranan dari orang tua dan guru” ujar Putri, seorang mahasiswi. Layaknya sekolah pada umunya, jam pembelajaran yang sudah ada di sekolah merupakan jam ideal dimana siswa hanya belajar selama kurang lebih 6-8 jam di sekolah. Belum lagi dengan beberapa beban pekerjaan rumah yang harus dikerjakan oleh sang anak, beberapa les atau bimbingan belajar pun turut dimasukkan sebagai salah satu penghambat jika nantinya sekolah seharian benar- benar akan diterapkan. Beban pendidikan akan semakin berat jika wacana tersebut benar- benar akan dilaksanakan oleh pemerintah Indonesia. Apalagi waktu bermain anak juga akan berkurang banyak karena durasi belajar di sekolah terlalu lama, dan juga waktu untuk bersosialisasi dengan tetangga pun kurang. Jangankan untuk bersosialisasi, pulang sekolah langsung istirahat karena capek dan harus beraktifitas lagi untuk yang mengikuti les atau bimbingan, sepulang itupun anak langsung istirahat untuk sekolah esok hari. Sungguh masa yang memberatkan untuk kondisi anak- anak dimana mereka seharusnya tidak dibebani dengan hal memberatkan seperti itu, seakan merenggut masa kanaknya untuk kehidupan yang belum pasti.

Pro dan kontra wacana full day school pun membawa banyak anggapan bahwa semakin banyak durasi pendidikan akan menciptakan hasil yang lebih memuaskan daripada sekolah yang hanya memiliki durasi belajar 5-6 jam saja. Berkaca pada beberapa sistem pendidikan di luar negeri, banyak juga sekolah dengan kualitas lebih baik memiliki hasil yang lebih memuaskan tanpa harus memperpanjang durasi belajar anak- anak. Lihat saja Finlandia yang mendapatkan predikat negara dengan pendidikan terbaik di dunia. Finlandia merupakan negara yang menganut bahwa sekolah itu membebaskan, tidak mengekang anak didiknya, anak- anak dibebaskan untuk mengikuti pelajarang yang sesuai dengan keinginannya. Apalagi, pembelajaran di sekolah pun begitu atraktif sehingga anak- anak merasa nyaman berada di sekolah, baik suasana sekolah yang menyenangkan maupun guru yang ramah terhadap murid. Di Finlandia, guru merupakan orang yang paling dimuliakan meskipun penghasilannya tidak seberapa dibandingkan pekerjaan yang lainnya. Namun, untuk menjadi guru di Finlandia merupakan jalan yang susah karena untuk menjadi guru TK saja harus lulusan sarjana minimal. Beberapa fasilitas penunjang pun diberikan kepada guru untuk menjadikan sumber daya manusia menjadi lebih baik. Oleh karena Finlandia memiliki guru- guru terbaik yangmengerti kondisi anak- anak inilah yang membawa mereka mencapai peringkat erbaik.

“Andai saja Indonesia kelak bisa seperti Finlandia, dengan segala prestasi yang dimilikinya.”

Kualitas guru- guru indonesia yang begitu kurang memadai merupakan salah satu kendala yang seharusnya diselesaikan lebih dahulu. Kurikulum pendidikan pun sering berganti menyesuaikan Menteri- Menteri Pendidikan yang sedang menjabat, ganti menteri ganti pula kurikulumnya. Sebetulnya mungkin bukan kurikulumnya yang terus selalu diganti, karena sarana pengajarpun banyak yang masih kurang memadai. Metode- metode pembelajaran yang butuh dioptimalkan, upgrade metode pembelajaran dirasa lebih perlu daripada harus mengganti kurikulum setiap periodenya. Belum lagi perubahan kurikulum pendidikan akan membutuhkan banyak waktu, tenaga dan uang untuk bisa terealisasi. Lihat saja kurikulum yang pernah terjadi di Indonesia, Kurikulum 2013 atau K-13. Kurikulum tersebut hanya menjadi kenangan karena beberapa sekolah tak lagi menggunakannya. Lihat berapa juta rupiah yang telah dihabiskan untuk mengadakan kurikulum baru tersebut, meliputi buku- buku penunjang sekolah, pelatihan guru- guru supa mengerti tentang kurikulum baru tersebut, sosialisasi ke berbagai sekolah di berbagai daerah yang tidak memakan uang sangat sedikit. Sungguh mahalnya biaya sekolah yang harusdikeluarkan jika anggaran negara dihambur- hamburkan hanya demi kurikulum baru. Akankan anggaran terebut terus lenyap tak bersisa tanpa hasil seperti it uterus menerus? Akankan kita terus berhijrah kurikulum di setiap periodesasi Menteri Pendidikan?